2.1.1 Klasifikasi
Klasifikasi lele sangkuriang (Clarias sp.) menurut Basahuddin (2009) dalam Mustafa
(2010), sebagai berikut:
Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Classis
: Pisces
Subclassis
: Teleostei
Ordo
:
Ostariophysi
Subordo
: Siluroidea
Family
: Claridae
Genus
: Clarias
Spesies
: Clarias sp.
Lele sangkuriang merupakan
hasil perbaikan genetik antara induk betina generasi kedua (F2) dengan induk
jantan generasi keenam (F6). Induk betina F2 merupakan koleksi yang ada di
BBPBAT Sukabumi (Zairin et al, 2005) yang berasal dari keturunan
kedua lele dumbo yang diintroduksi ke Indonesia pada tahun 1985, sedangkan
induk jantan F6 merupakan sediaan induk yang ada di BBPAT Sukabumi. Pada tahun
2004, lele sangkuriang resmi dilepas sebagai varietas lele unggul berdasarkan
Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kp.26/MEN/2004 tertanggal 21
Juli 2004 (Sunarma, 2004).
1.2 Morfologi
Menurut Anonimus (2005), secara umum morfologi ikan lele sangkuriang tidak
memiliki banyak perbedaan dengan lele dumbo yang selama ini banyak
dibudidayakan, hal tersebut dikarenakan ikan lele sangkuriang sendiri merupakan hasil silang dari induk ikan lele dumbo. Tubuh
ikan lele sangkuriang mempunyai bentuk tubuh memanjang, berkulit licin,
berlendir, dan tidak bersisik. Bentuk kepala depress dengan
mulut yang relatif lebar, mempunyai empat pasang sungut.
Ciri khas dari lele sangkuriang adalah adanya empat pasang dan sungut yang
terletak di sekitar mulutnya. Keempat pasang sungut tersebut terdiri dari dua
pasang sungut maxiral/ rahang atas dan dua pasang sungut mandibula/rahang
bawah (Lukito, 2002).
Fungsi sungut bawah adalah sebagai alat peraba ketika berenang dan sebagai
sensor ketika mencari makan. Sirip lele sangkuriang terdiri atas lima bagian
yaitu sirip dada, sirip perut, sirip dubur, sirip ekor, dan sirip punggung.
Sirip dada lele sangkuriang dilengkapi dengan patil (sirip yang keras) yang
berfungsi untuk alat pertahanan diri (Lukito, 2002). Pada bagian atas ruangan
rongga insang terdapat alat pernapasan tambahan (organ arborescent)
berbentuk seperti batang pohon yang penuh dengan kapiler-kapiler darah untuk
membantu mengikat oksigen dari udara (Najiyati 1992). Mulutnya terdapat di
bagian ujung dan terdapat empat pasang sungut. Insangnya berukuran kecil dan
terletak pada kepala bagian belakang. Ikan lele mempunyai kebiasaan makan di
dasar perairan dan bersifat karnivora dan kanibal, yaitu memangsa jenisnya
sendiri jika kekurangan jumlah pakan dan lambat memberikan pakan (Najiyati
1992).
1.3 Habitat dan Kebiasaan Hidup
Habitat ikan lele sangkuriang adalah semua perairan air tawar (Suyanto, 2007).
Lele sangkuriang dapat hidup di lingkungan yang kualitas airnya sangat jelek.
Kualitas air yang baik untuk pertumbuhan yaitu terdapat kandungan O2sekitar
enam ppm, CO2 kurang dari 12 ppm, suhu antara 24-260C,
pH berkisar 6-7, NH3 kurang dari satu ppm dan daya tembus
matahari kedalam air maksimum 30 cm. ikan lele dikenal aktif pada malam hari (nokturnal).
Pada siang hari, ikan lele lebih suka berdiam didalam lubang atau tempat yang
tenang dan aliran air tidak terlalu deras. Ikan lele mempunyai kebiasaan
mengaduk lumpur dasar untuk mencari binatang-binatang kecil (bentos) sebagai
makanan yang terletak di dasar perairan (yustikasari, 2004). Pada
siang hari biasanya lele bersembunyi dalam lubang-lubang persembunyian, seperti
di bawah pematang sawah, pinggiran sungai, akar pohon, di dalam lubang kayu,
atau bambu yang tenggelam (Surya, 2010).
Ikan lele dapat bertahan hidup di dalam air kotor, air berlumpur, parit, bahkan
dapat hidup di luar air hingga enam sampai delapan jam. Hal ini disebabkan
karena adanya arborescent organ (Mudjiman, 1990). Lele juga
relatif tahan terhadap pencemaran bahan-bahan organik. Organisme ini dapat
hidup baik pada dataran rendah sampai pada ketinggian 600 meter di atas
permukaan laut (dpl) dengan suhu antara 25-30°C. Pada ketinggian di atas 700
meter dpl, pertumbuhan ikan lele akan kurang baik (Kordi, 2010). Dengan
penggunaan teknologi yang memadai terutama pengaturan suhu perairan, budidaya
masih tetap bisa dilakukan pada lahan yang memiliki ketinggian di atas 800
meter dpl (Sunarma, 2004). Sampai saat ini ikan lele sebagian besar
dibudidayakan pada kolam tanah (Amisah et al, 2009).
1.4. Pakan dan Kebiasaan Makan
Menurut Kordi (2010), ikan lele sangkuriang termasuk ikan pemakan segala bahan makanan (omnivor),
baik bahan hewani maupun nabati. Pakan alami lele sangkuriang adalah
binatang-binatang renik, seperti kutu air dari kelompok Daphnia,
Cladocera, atau Copepoda.
Sementara itu, lele
sangkuriang juga memakan larva jentik nyamuk, serangga atau siput-siput kecil.
Meskipun demikian, jika telah dibudidayakan misalnya dipelihara di kolam lele
dapat memakan pakan buatan seperti pellet, limbah peternakan ayam, dan
limbah-limbah peternakan lainnya (Himawan, 2008).
Menurut Lukito (2002), pakan buatan
pabrik dalam bentuk pellet sangat digemari induk lele, tetapi harga pellet
relatif mahal sehingga penggunaannya harus diperhitungkan agar tidak rugi. Lele
sangkuriang dapat memakan segala macam makanan, tetapi pada dasarnya bersifat
karnivora (pemakan daging), maka pertumbuhannya akan lebih pesat bila diberi
pakan yang mengandung protein hewani dari pada diberi pakan dari bahan nabati.
Teknologi Pembenihan
Ikan Lele Sangkuriang
2.1 Persiapan Kolam Indukan
Menurut Prihartono dkk (2000),
Pemeliharaan induk lele sangkuriang dapat dipelihara dalam kolam atau bak
berukuran agak besar (3 x 4 x 1 m3), sedangkan kepadatannya adalah 5 kg/m2. Induk ikan lele sangkuriang juga dapat dipelihara
dalam bak secara terpisah (jantan dan betina per generasi). Kolam untuk pemeliharaan induk sebaiknya memiliki kedalaman air sekitar 1,5
meter (Darseno, 2010).
2.2 Pengelolaan Induk
Syarat utama dalam pemilihan induk adalah induk sudah matang kelamin, artinya
induk jantan sudah menghasilkan sperma dan induk betina sudah menghasilkan sel
telur. Induk lele sangkuriang yang akan digunakan dalam kegiatan proses
produksi harus tidak berasal dari satu keturunan dan memiliki karakteristik
kualitatif dan kuantitatif yang baik berdasarkan pada morfologi, fekunditas,
daya tetas telur, pertumbuhan, dan sintasanya. Karakteristik tersebut dapat
diperoleh ketika dilakukan kegiatan produksi induk dengan proses seleksi yang
ketat (Sunarma, 2004).
A. Seleksi Calon Indukan
Proses pemijahan persyaratan induk betina ikan lele sangkuriang antara lain:
umur minimal dipijahkan 1 tahun, berat 0,7-1,0 kg dengan panjang standar 25-30
cm. Induk jantan antara lain umur 1 tahun, berat 0,5-0,75 kg dan panjang
standar 30-35 cm. Induk betina yang siap dipijahkan adalah induk betina yang
sudah matang gonad. Secara fisik, hal ini ditandai dengan perut yang besar dan
lembek. Secara praktis hal ini dapat diamati dengan cara meletakkan induk pada
lantai yang rata dengan perabaan pada bagian perut. Induk jantan ditandai
dengan warna alat kelamin yang berwarna kemerahan. Jumlah induk jantan dan
induk betina tergantung pada rencana produksi dan sistem pemijahan yang
digunakan. Pada sistem pemijahan semi alami jumlah jantan dan betina dapat
berimbang. Induk lele sangkuriang sebaiknya dipelihara secara terpisah dalam
kolam tanah atau bak tembok dengan padat tebar 5 ekor/m2 dapat
dengan air mengalir ataupun air diam (Sunarma, 2004). Tingkat kematangan gonad dipengaruhi oleh kondisi genetik ikan dan
kandungan nutrisi pada pakan (Cek & Yilmaz, 2005). Oleh karena itu, Pakan yang diberikan berupa pakan komersial dengan
kandungan protein diatas 25% dengan jumlah pakan sebanyak 2-3% dari bobot
biomasa dan frekuensi pemberian pakan 3 kali per hari.
B. Pemeliharaan Induk
Pada pemeliharaan induk, pakan yang diberikan untuk calon indukan dapat
berupa pakan buatan seperti pelet dan pakan lainnya seperti ikan rucah, keong
mas, bekicot dan lain sebagainya (Darseno, 2010). Pakan untuk induk dapat
berupa pakan komersial yang memiliki kandungan protein di atas 25 persen dengan
jumlah 12 pakan 2–3 persen dari bobot biomasa dan frekuensi pemberian pakan
sebanyak tiga kali dalam satu hari (BBPBAT Sukabumi, 2004). Seminggu sekali indukan lele diberi pakan hijauan berupa dedaunan, seperti
daun talas. Makanan tambahan tersebut diberikan dengan tujuan agar telur yang
dihasilkan berkualitas dan besar. Jika hanya diberi pelet, biasanya telur yang
dihasilkan berukuran kecil. Pemberian pakan dilakukan tiga kali sehari yaitu
pagi, sore, dan malam hari (Darseno, 2010).
C. Seleksi Induk Siap
Pijah
Tidak semua induk yang dipelihara di kolam indukan siap dipijahkan, hanya lele yang memiliki syarat tertentu yang boleh dipijahkan, dan harus
dilakukan penyeleksian terlebih dahulu. Tujuan utama dari proses seleksi
indukan adalah untuk mengetahui tingkat kematangan gonadnya. Induk yang
diseleksi harus benar-benar unggul (Darseno, 2010).
Induk betina yang siap dipijahkan adalah induk yang sudah matang gonad
(Sunarma, 2004). Induk betina yang sudah matang telur memiliki perut yang
membulat, lembek, dan lubang genital papilla terlihat jelas
(Srivastava et al, 2012). Secara praktis hal ini dapat diamati
dengan cara meletakkan induk pada lantai yang rata dan dengan perabaan pada
bagian perut. Induk jantan yang sudah matang gonad ditandai dengan warna alat
kelamin yang berwarna kemerahan (Sunarma. 2004), dengan perut yang ramping
(Srivastaka et al, 2012). Induk betina yang siap memijah umur
minimal dipijahkan 1 tahun, berat 0,70–1,0 kg dan panjang standar 25 – 30 cm.
Untuk induk jantan, umur 1 tahun, berat 0,5–0,75 kg dan panjang standar 30 – 35
cm (Sunarma, 2004).
2.3 Pemberokan Indukan Lele Siap Pijah
Pemberokan adalah tahapan dalam pemijahan yang dilakukan dengan cara dipuasakan
saat induk ikan selesai diseleksi dan sebelum dipijahkan (Mahyuddin, 2008).
Pemberokan induk jantan dan betina dilakukan di bak atau kolam terpisah. Kolam
yang digunakan dapat berupa kolam tanah atau bak tembok dengan air mengalir
ataupun air diam (Sunarma, 2004).
2.4 Teknik Pemijahan Lele Sangkuriang Secara Semi
Buatan
Menurut Sunarma (2004), pemijahan ikan lele
sangkuriang dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu: pemijahan alami (natural
spawning), pemijahan semi alami (induced spawning) dan pemijahan
buatan (induced/artificial breeding). Pemijahan alami dilakukan dengan
cara memilih induk jantan dan betina yang benar-benar matang gonad kemudian
dipijahkan secara alami di bak atau wadah
pemijahan dengan pemberian kakaban.
Pemijahan semi alami atau semi buatan dilakukan dengan cara merangsang induk
betina dengan penyuntikan hormon perangsang kemudian dipijahkan secara alami.
Pemijahan buatan dilakukan dengan cara merangsang induk betina dengan
penyuntikkan hormon perangsang kemudian dipijahkan secara buatan. Pemijahan alami dan semi alami menggunakan induk betina dan jantan dengan
perbandingan 1:1 baik jumlah ataupun berat (Sunarma, 2014).
Bila induk betina atau jantan lebih berat dibandingkan lawannya, dapat
digunakan perbandingan jumlah 1:2 yang dilakukan secara bertahap. Misalnya
induk betina dengan berat 2 kg/ekor dapat dipasangkan dengan induk jantan berat
1 kg/ekor. Pada saat pemijahan dipasangkan induk jantan dan betina
masing-masing 1 ekor. Setelah sekitar setengah telur keluar atau induk jantan
kelelahan, dilakukan induk jantan dengan induk yang baru. Pemijahan semi alami
dapat dilakukan dengan melakukan penyuntikan terhadap induk betina menggunakan
ekstrak pituitari atau hipofisa atau hormon perangsang misalnya ovaprim,
ovatide, LHRH atau yang lainnya. Ekstrak hipofisa dapat berasal dari ikan lele
atau ikan mas sebagai donor. Penyuntikan dengan ekstrak hipofisa dilakukan dengan
dosis 1 kg donor/1 kg induk (bila menggunakan donor ikan lele) atau 2 kg
donor/kg induk (bila menggunakan donor ikan mas) (Sunarma, 2014).
2.5 Penyuntikan Hormon Ovaprim
Hormon ovaprim merupakan hormon sintesis (buatan). Ovaprim berbentuk
cairan yang disimpan dalam ampul. Satu ampul berisi 10 ml. Penyuntikan
menggunakan hormon ovaprim sangat praktis sebab sudah berupa larutan sehingga
tinggal disuntikkan saja, hormon sisa di dalam ampul dapat disimpan di tempat
yang tidak terkena sinar matahari langsung atau disimpan pada suhu kamar (Pusat
Penyuluhan Kelautan dan Perikanan, 2011). Dalam kondisi tersebut, ovaprim tahan
hingga 3-4 bulan (Sunarma, 2004). Hormon ovaprim telah
dilaporkan menjadi agen merangsang efisien
untukpematangan oosit dan ovulasi pada ikan lele (Srivastaka et al, 2012).
Proses penyuntikan dilakukan satu kali secara intra muscular yaitu pada
bagian punggung ikan. Rentang waktu antara penyuntikan dengan ovulasi telur
10–14 jam tergantung pada suhu inkubasi induk (Sunarma, 2004). Dalam melakukan
penyuntikan, digunakan alat suntik yang sudah dibersihkan/dicuci dengan air
panas atau gunakan alat yang baru (Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan,
2011).
Sebelum melakukan penyuntikan
hormon ovaprim, dilakukan penimbangan induk jantan dan betina untuk menentukan
dosis ovaprim yang akan disuntikkan (Srivastaka et al, 2012).
Menurut Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan (2012) Induk yang beratnya 1
kg, dosis hormon ovaprim 0,3-0,5 cc. Bila beratnya 0,5 kg maka dosis yang
diperlukan setengahnya, yakni 0,15-0,25 cc (sesuai petunjuk pada wadah hormon
tersebut). Pengambilan hormon dilakukan dengan menyedot menggunakan injeksi
spuit sebanyak hormon yang diperlukan. Dilanjutkan dengan penyedotan kembali
menggunakan jarum yang sama aquades untuk mengambil larutan garam fisiologis 7%
sebanyak 0,5 ml yang digunakan untuk mengencerkan hormon ovaprim. Penyuntikan
pada punggung ikan dilakukan sebanyak setengah dosis di sebelah kiri sirip
punggung dan setengah dosis lagi disebelah kanan (Pusat Penyuluhan Kelautan dan
Perikanan, 2011) dengan kemiringan kurang lebih 30° sedalam 2-2,5 cm kearah
ekor pada otot punggung (Mahyuddin, 2008). Penyuntikan dilakukan dengan sangat
hati-hati. Setelah jarum suntik dicabut, bekas suntikan tersebut
ditekan/ditutup dengan jari beberapa saat agar hormon tidak keluar (Pusat
Penyuluhan Kelautan dan Perikanan, 2011).
2.6 Pemijahan Setelah Penyuntikan Hormon Ovaprim
Pemijahan semi buatan dilakukan dengan
cara merangsang induk betina dengan penyuntikan hormon perangsang kemudian
dipijahkan secara alami (Sunarma, 2004).
Induk betina yang telah disuntik menggunakan hormon ovaprim dilepaskan ke dalam
kolam pemijahan yang telah disiapkan. Kolam pemijahan untuk sepasang induk
berukuran minimum 6 m2 atau 2x3 m2. Kolam dapat
berupa kolam tanah atau kolam semen dengan kedalaman air kurang dari 75 cm
(Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan, 2011). Bila kolam pemijahan terlalu
sempit, induk betina dapat terluka karena perilaku
pejantan yang terlalu kuat atau ganas. Kolam yang digunakan untuk
pemijahan diberi kakaban dengan jumlah cukup yang mampu menutupi 75% dasar
kolam. Kakaban tersebut diletakkan 5-10 cm di atas dasar kolam dengan
menggunakan bata merah sebagai pengganjal dan penindih agar kakaban tersebut
tidak mudah bergeser. Kolam kemudian diisi dengan air sampai kakaban terendam
5-10 cm (Suyanto, 2007).
Selang satu jam setelah penyuntikan induk betina, induk jantan barulah disuntik
dengan hormon ovaprim. Selang waktu itu diberikan karena reaksi
terhadap hormon pada induk jantan lebih cepat dari pada induk betina. Dengan
demikian, induk betina dan induk jantan akan memijah bersamaan (Pusat
Penyuluhan Kelautan dan Perikanan, 2011). Induk jantan yang telah mendapatkan
suntikan hormon, dimasukan ke dalam kolam pemijahan bercampur
dengan induk betina (Dardiani dan Sary, 2010). Pada proses pemijahan akan
menghasilkan telur yang telah dibuahi oleh sperma akan menghasilkan telur-telur
yang berbentuk bulat dan jernih berwarna abu-abu sedikit kekuningan (Pusat
Penyuluhan Kelautan dan Perikanan, 2011).
2.7 Penetasan Telur
Telur ikan adalah sel gamet betina yang akan menjadi individu baru setelah sel
tersebut diaktifkan oleh spermatozoa. Spermatozoa akan membuahi telu melalui
lubang kecil yang terbuka pada kulit telur (lubang mikropil). Mikropil akan
terbuka setelah ada kontak dengan air selama kurang lebih satu menit, lebih
dari satu menit lubang mikropil akan kembali menutup. Jika selama lubang mikropil
terbuka dan tidak ada sperma yang membuahi, maka telur tidak akan terguahi dan
menjadi mati (Effendi, 1997).
Pada pemijahan secara semi buatan, kakaban yang telah berisi telur dipindahkan
ke dalam kolam/bak penetasan yang telah dibersihkan dan diisi air sedalam 20 –
30 cm (Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan, 2011). Kolam yang digunakan dapat berupa kolam tanah, bak tembok, ataupun bak
plastik (Sunarma, 2004). Kolam penetasan diberi atap dari plastik yang
tembus cahaya agar tidak terkena hujan maupun panas matahari langsung (Pusat
Penyuluhan Kelautan dan Perikanan, 2011). Penetasan telur sebaiknya
dilakukan pada air yang mengalir secara kontinyu untuk menjamin ketersediaan
oksigen terlarut dan penggantian air yang kotor akibat pembusukan telur yang
tidak terbuahi (Hossain et al, 2006). Alternatif lain yang dapat
dilakukan dengan pemberian aerator untuk menjaga sirkulasi air dan sebagai
penyuplai oksigen terlarut. Telur lele sangkuriang akan menetas setelah 30 – 36
jam (Sunarma, 2004).
2.8 Pemeliharaan Larva
Proses pemeliharaan larva atau benih dimulai semenjak telur menetas sehingga
menghasilkan lele sangkuriang ukuran bibit siap tebar. Larva yang baru menetas
tidak perlu diberi makan, sebab masih mempunyai cadangan makanan berupa kuning
telur yang melekat ditubuhnya. Persediaan kuning telur akan habis dalam 4 hari.
Setelah kuning telur habis, pemberian pakan untuk larva dimulai. Pakan yang
sesuai untuk larva adalah cacing rambut atau cacing sutra. Cacing rambut yang
diberikan harus dalam keadaan hidup, bukan yang kering atau dalam keadaan mati
(Nasrudin, 2010).
A. Seleksi dan Padat Tebar Benih Lele Sangkuriang
Menurut Nasrudin (2010), penyortiran benih adalah kegiatan menyeleksi benih
sesuai dengan ukuran yang diharapkan. Penyortiran benih bertujuan untuk
mendapatkan keseragaman ukuran benih dan untuk menghindarkan benih yang
memiliki ukuran lebih besar karena bisa memakan benih yang berukuran lebih
kecil. Penyortiran benih dalam segmen pembenihan lele sangkuriang umumnya
dilakukan dua kali.
Warisno dan Kres Dahana (2009), menyatakan bibit yang dipelihara dalam
pendederan I berukuran sangat kecil, rentan stres dan cedera, sehingga
pelepasannya harus dilakukan dengan hati-hati. Kepadatan bibit, yaitu
antara 500-700 ekor/m2 untuk benih ukuran 3-5 cm. Ukuran bibit
yang dipelihara pada pendederan II dua kali lebih besar dari bibit pada
pendederan I. Kepadatan bibit harus dikurangi sampai setengah dari kepadatan
pendederan I, yaitu antara 250 - 500 ekor/m2.
B. Kebutuhan Kualitas Air Benih Lele Sangkuriang
Kondisi air dalam budidaya harus disesuaikan dengan kebutuhan optimal ikan yang
dipelihara. Keberhasilan suatu proses budidaya ditentukan oleh kedaan kuantitas
air dan kualitas. Kuantitas air adalah jumlah air yang tersedia untuk proses
budidaya yang berasal dari sumber air seperti sungai, sumur, saluran irigasi.
Sementara itu yang dimaksud kualitas air yaitu berupa sifat kimia, fisika, dan
biologi air. Sifat kimia air berupa derajat keasaman (pH), oksigen terlarut (O2),
karbondioksida (CO2), amonia dan alkalinitas. Sementara itu sifat
fisika air berupa kecerahan, suhu, kekeruhan, dan warna air. Serta yang
dimaksud sifat biologi air yaitu banyak dan jenis plankton, benthos, dan
tanaman air.
Menurut Sunarma (2004), suhu optimal untuk ikan Lele Sangkuriang berkisar
antara 22-340C. Kisaran pH yang dibutuhkan untuk benih ikan Lele
Sangkuriang berkisar antara 6-9. Kandungan oksigen O2 terlarut
yang baik untuk ikan lele sangkuriang yaitu lebih dari 1 mg/l. Menurut Rifianto
(2000), kolam budidaya lele yang baik memiliki kandungan CO2 terlarut maksimum
11 mg/l, amonia total maksimum 1 mg/l, dan kandungan nitrit minimum 0,1 mg/l.
C. Kebutuhan Pakan Benih Lele Sangkuriang
Setiap kelompok umur dan ukuran fisik diberi pakan dengan ukuran dan jenis yang
berbeda (Tabel 1). Pakan yang diberikan untuk benih bisa berupa cacing sutra
atau pelet ikan tipe 561-2SI. Pakan tersebut mengandung kadar protein yang baik
untuk pertumbuhan lele (Surya, 2010).
Tabel 1. Jenis Pakan Untuk
Benih Lele Sangkuriang
Supaya benih cepat besar, pemberian pakan harus teratur dan air harus dijaga
dengan baik. Pakan jangan sampai kekurangan dan air jangan sampai kotor.
Kekurangan pakan menyebabkan pertumbuhan lele tidak maksimal dan terjadi
kanibalisme. Air yang kotor bisa mengundang berbagai macam bibit penyakit dan
menyebabkan gagal panen atau lele mati. Umumnya bibit lele cukup diberi pakan
2-3 kali sehari. Waktu pemberian pada pagi hari pukul 08.00-09.00, sore pukul
16.00-17.00, dan malam pukul 20.00-22.00 (Surya, 2010).
Ikan kecil membutuhkan protein yang lebih banyak dibandingkan dengan ikan besar
karena laju pertumbuhannya relatif lebih tinggi. Lele yang masih kecil
membutuhkan pakan dengan kadar protein 35-40%, sedangkan lele dewasa
membutuhkan protein 25-30% (Tabel 2). Untuk pertumbuhan maksimal catfish dengan
bobot tubuh 3 g membutuhkan protein empat kali lebih banyak dibandingkan
dengan catfish yang berbobot 250 g meskipun rasio protein
terhadap energi di dalam pakan tidak banyak berubah (Afrianto dan Liviawaty, 2005).
3.1 Fekunditas
Fekunditas merupakan semua telur yang akan dikeluarkan pada waktu memijah
(Effendie, 2002). Menurut Moyle (1988) dalam Sheima (2011),
secara umum, pada setiap ikan fekunditas akan meningkat sesuai dengan ukuran
berat tubuh ikan betina. Fekunditas ikan di alam akan bergantung pada kondisi
lingkungannya, apabila ikan hidup di kondisi yang banyak ancaman predatornya maka
jumlah telur yang dikeluarkan akan semakin banyak atau fekunditas akan semakin
tinggi sebagai bentuk upaya untuk mempertahankan regenerasi keturunannya,
sedangkan ikan yang hidup di habitat yang sedikit predator maka telur yang
dikeluarkan akan sedikit atau fekunditas rendah. Pada umumnya individu yang
pertumbuhannya cepat fekunditasnya juga lebih tinggi dibandingkan yang lambat
pertumbuhannya pada ukuran yang sama (Effendie, 2002).
Ikan-ikan yang tua dan besar
ukurannya mempunyai fekunditas yang relatif lebih kecil (Effendie 2002).
Nikolsky (1963) dalam Mahendratama (2011) menyatakan bahwa
ikan yang memiliki fekunditas yang besar umumnya memijah di daerah permukaan
tanpa melindungi keturunannya, sedangkan ikan dengan jumlah fekunditas yang
kecil akan memijah di tanaman atau substrat untuk melindungi keturunannya dari
pemangsa. Menurut Effendie (2002), ikan yang untuk pertama kalinya memijah (recruit
spawner) fekunditasnya tidak besar seperti pada ikan yang memijah beberapa
kali tetapi berat tubuhnya sama,. Dalam satu spesies, semakin bertambah panjang
dan berat tubuh maka tingkat kematangan gonad semakin tinggi, nilai indeks
kematangan gonad semakin bertambah, maka fekunditas semakin meningkat
(Mahendratama, 2011). Fekunditas dalam kegiatan pembenihan lele sangkuriang
sebesar 60.000 butir (Kordi, 2010) dengan derajat penetasan telur antara 70-85%
(Mustafa, 2010).
3.2 Daya Tetas
Daya tetas adalah kemampuan
telur fertil yang menetas (Budi, 2008). Menurut Faqih (2011), Hatching
Rate (daya tetas) menunjukkan persentase telur dari awal fertilisasi
hingga telur yang menetas. Daya tetas lele sangkuriang bisa mencapai lebih dari
90% (Sunarma, 2004). Tingginya daya tetas dipengaruhioleh beberapa faktor,
antara lain: suhu, curah hujan, debit air, feromon, dan kandungan pakan induk
(Kordi, 2010).
3.3 SR (Survival Rate)
Tingkat kelangsungan hidup
atau sintasan larva (Survival Rate/SR) adalah jumlah larva yang hidup setelah
dipelihara beberapa waktu dibandingkan dengan jumlah larva pada awal
pemeliharaan dan dinyatakan dalam persen (Effendie, 2004). Survival Rate/SR (tingkat
kelangsungan hidup) ikan lele dapat mencapai 90 persen (Departemen Kelautan dan
Perikanan 2007). Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
dan sintasan/kelulushidupan benih lele diantaranya adalah kualitas benih, jenis
pakan, kualitas air, penyakit (Hakim, 2009).
2.4 Permasalahan dalam Pembenihan Lele
Sangkuriang
Dalam kegiatan pembenihan lele sangkuriang, yang sering menjadi masalah
adalah mortalitas yang disebabkan oleh hama dan penyakit (Hossain et al,
2012). Hama yang sering menganggu larva lele adalah adanya katak yang juga
bertelur di dalam kolam penetasan sehingga sel-telur katak harus dibuang
secepat mungkin sebelum menetas agar berudunya tidak menggangu larva lele.
Supaya katak yang dapat memangsa larva lele tersebut tidak dapat masuk ke dalam
kolam penetasan maka kolam/bak harus diberi penutup dari kawat anyaman kandang
ayam (Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan, 2011).
Penyakit yang muncul pada benih ikan lele umumnya disebabkan karena
infeksi mikroba, terutama oleh bakteri
(Hossain et al, 2006). Menurut Haque et al (1993) dalam Hossain et al (2006), pada ikan yang
mati akibat terserang penyakit menunjukkan ekor, sirip dan atau barbell yang membusuk. Salah satu yang bakteri sering
dikeluhkan oleh pembudidaya lele adalah Aeromonashydrophilla.
Gejala benih yang terserang adalah pembengkakan pada bagian perut yang bukan
berisi pakan, melainkan berisi cairan bening. Gejala benih lele yang terserang
bakteri ini adalah adanya pembengkakan pada bagian perut yang bukan berisikan
pakan, melainkan berisi cairan bening. Penyakit ini biasa disebut dengan
penyakit kembung karena dilihat dari perutnya yang buncit (Prasetya, 2011).
Cara penanggulangan penyakit dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik dan vitamin yang dicampurkan dalam pakan (Hossain et al, 2006).
Pengendalian penyakit akibat bakteri dilakukan dengan mencampur pakan dengan
antibiotik seperti Chloramphe-nicol, Terramycin atau Oxsytetracycline. Dosisnya
sebanyak 5-7,5 gram/100 kg pakan (Pusat Penyuluhan dan Perikanan, 2011).
Daftar Pustaka
http://Alpadani
saad-22.blogspot.com/2017/02/pembenihan-ikan-lele-sangkuriang.html
https://www.infoikan.com/2017/02/panduan-lengkap-pembenihan-ikan-lele.html